Cara menulis fiksi yang baik adalah tahu dasarnya lebih dahulu. Adakah di
antara Teman-teman yang punya kebiasaan menulis spontan tanpa persiapan? Jangan
berkecil hati, hampir semua penulis pernah melakukan kekeliruan ini, hingga tak
jarang menemui kesulitan di tengah proses menulis.
"Namanya juga inspirasi, Kak. Kapan lagi turun dari langit?"
Boleh-boleh saja, tapi perlu Teman-teman ketahui bahwa menulis tanpa persiapan ini amat berisiko. Jika tidak
kuat iman, semangat pun mengendur, naskah Teman-teman akan berpotensi terlantar.
Sayang sekali, bukan?
Jadi, persiapan dasar apa saja yang harus kita punya sebelum mulai menulis?
1. Jauh Dekat Tema dengan Kehidupan (Engagement)
Tidak jarang, penulis belum menentukan tema tulisan di awal-awal saking
semangatnya untuk memulai.
Coba bayangkan, bagaimana jika sebuah tulisan
kita biarkan mengalir tanpa arah tujuan, pusing tidak? Ujung-ujungnya, kita
sebagai penulis malah jadi serbagalau. "Setelah ini, aku kira-kira mau menulis
tentang apa lagi, ya? Tokohnya terus ngapain? Ending cerita bagusnya dibikin
seperti apa, sih?" Nah, tema ini sama fungsinya dengan arah tujuan. Mau
kita bawa ke mana?
Semakin jelas dan kuat tema yang kita angkat, jiwa tulisan akan semakin mudah dicerna, sekaligus mengguncang pikiran, dan melahirkan kesadaran.Teman-teman boleh cek silang fakta berikut. Rata-rata penerbit terdepan, mensyaratkan tema yang kuat dalam ketentuan naskah terbit mereka. Tema tidak harus baru, mulus, kinclong layaknya mobil keluar dari pabrik, tetapi tema benar-benar mencerminkan kualitas pikiran seorang penulis, napas, dan jiwa yang bisa kita rasakan sebagai pembaca.
Pada akhirnya, tema ini berkaitan erat dengan
pesan moral yang ingin kita sampaikan lewat tulisan.
"Kak, tema yang kuat itu
bagaimana, sih?"
Jawab: "Tema yang dekat dengan kehidupan pembaca."
Contoh,
buku "Me & Cincin Saturnus" bercerita tentang seorang gadis yang ingin merebut
perhatian cowok pujaannya dengan bergabung dalam komunitas cosplayer.
Sekilas,
tema PDKT ini terasa umum dan sudah tidak terhitung jumlahnya di luaran. Namun,
ada lapisan tema lain dalam kisah ini. Si gadis ternyata menderita konflik
self-love dan berupaya bangkit dari masalah body dismorphic disorder yang ia
derita.
Dalam kehidupan, tema ini amat dekat dengan pengalaman pribadi sebagian
dari kita, hingga mengundang reaksi para pembaca. Rata-rata, mereka menyatakan
punya pengalaman serupa. Pembaca merasa jiwa mereka hadir dalam kisah ini.
Nah, sudah bisa membayangkan? Tema yang kuat mampu menghubungkan antara pikiran
penulis dan dunia luar, sehingga kisahnya bisa hadir dan kita rasakan secara
nyata. Kita menyebutnya "related" atau membumi.
Kesimpulannya, inspirasi
boleh datang kapan saja, tetapi kita harus jeli saat memilih tema: mana yang
layak untuk dituangkan dalam tulisan. "It's worth it" jika tema tersebut dekat
dengan kehidupan penulis dan menggugah perasaan karena pembaca bukan sekadar
membaca dengan mata kepala, tetapi juga hati.
2. Tokoh Cerita yang Bukan Sekadar Tempelan
Sebelum masuk ke topik berikut, yuk kenali dulu sudut pandang tokoh:
POV 1: "Aku ...."
Contoh:
Namaku Amanda Ranindhita. Orang-orang cukup
memanggilku Manda. Jangan salahkan aku yang tidak punya kehidupan sosial dan
terlalu sibuk berkutat di semester akhir kuliah. Bukannya sombong, tetapi aku
berkuliah di tempat yang sangat sulit, dengan ritme perkuliahan yang mampu
membuatmu gila karena kurang tidur, kurang nonton TV, bahkan sering tidak sempat
makan.
POV 3 tahu segala: "Dia, A, B, C, dan seterusnya ...."
Contoh:
Akan
terdengar klise jika Arla menyebut hari-harinya senantiasa berjalan sempurna.
Rutin berangkat sekolah pada waktu yang sama, pola aktivitas bak skenario tanpa
cela, nyatanya belum cukup juga dalam kacamata hidup Arla. Bagi gadis pemilik
bingkai wajah bulat telur itu, pencapaian bukanlah sesuatu yang bisa ia jadikan
tolak ukur karena Arla telah punya segalanya. Namun, kenapa rasanya masih saja
ada yang kurang? Apakah Arla kurang bersyukur menjadi gadis belia yang diidamkan
oleh kebanyakan orang?
POV 3 terbatas.
Hampir sama dengan POV 3 tahu
segala, tetapi menggunakan sudut pandang dan informasi yang amat terbatas).
Contoh:
Hari, minggu, bulan, mungkin juga bilangan tahun, entah berapa lama
sudah berlalu. Yang ia ingat dalam memori, nyaris tidak ada. Bahkan, namanya
sendiri pun bagai frasa samar yang menguap di dinding kamar. Yang ia tahu,
ia masih di sini untuk satu alasan sederhana. Gadis di hadapannya inilah yang
membuatnya tidak bisa pergi.
POV 1 dari sudut pandang orang ketiga: "Kamu ...."
Istilah populernya adalah POV 2 semu. Dalam narasi, akan terdengar seperti
"suara hati" yang berbicara. Contoh:
Itu adalah denting sepeda yang
selalu kau tunggu. Kau bergegas keluar rumah dan membuka pagar. Sekejap saja,
tubuhmu telah terlempar di atas lantai, berbaring bak putri duyung, lalu
tenggelam dalam laman-laman kreasi yang tertuang di atas kertas. Sayap-sayap
imajinasi pun berkelana dalam benakmu yang belia.
Setelah mengenal
macam-macam sudut pandang, ada tiga aturan dasar yang harus dipertimbangkan,
terlepas dari apa pun Point of View yang akan kita gunakan dalam cerita, yaitu:
Menghidupkan Tokoh
Visualisasi
Tonjolkan ciri-ciri atau penampilan fisik sesuai kebutuhan isi cerita agar
mudah kita bayangkan, terutama buat pembaca. Contoh:
Kelopak mata gadis itu
terpejam dan lengket oleh pasta pelembab kornea yang dua kali sehari tak pernah
lupa dioleskan oleh perawat. Selang berseliweran keluar masuk rongga tubuh dan
kulitnya. Badannya kurus berbalut tulang. Dengan wajah pucat dan kering, butuh
berlapis bedak dan perona untuk membuatnya tampak hidup.
Karakterisasi
Pusatkan cerita pada dua tokoh utama penggerak cerita,
yakni protagonis dan antagonis. Berikan porsi yang lebih kecil untuk tokoh-tokoh
pendukung lainnya.
Agar cerita berkesan manusiawi dan alami, tokoh-tokoh di
dalamnya harus punya kelebihan sekaligus kekurangan. Tidak ada karakter yang
sempurna sepanjang cerita atau sama persis dengan karakter lainnya.
Kembangkan kepribadian, tabiat, dan kebiasaan tokoh utama sesuai kebutuhan
cerita.
Keinginan Tokoh
Sampaikan kepada pembaca tentang keinginan terpendam dalam diri tokoh,
tetapi jangan sampai kebablasan mencampuradukkannya dengan keinginan kita
sebagai penulis. Tetap tempatkan diri kita pada posisi netral, yakni
sebagai pengamat dan penutur cerita, sekalipun sudut pandang tokoh yang
digunakan adalah POV 1.
Hindarilah kesan berlebihan dalam narasi ataupun dialog yang terasa subjektif.
Fiksi bukan diari. Jangan buat pembaca menebak-nebak apakah yang sedang
berbicara adalah sang tokoh atau penulis sendiri. PR besar bagi penulis jika
setiap cerita terkesan monoton alias kisahnya saja yang berbeda, tapi tokohnya
tetap sama. Fiksi juga bukan biografi, apalagi opini, sekalipun berdasarkan
pengalaman pribadi. Sama seperti penulis, tokoh adalah unik. Hanya ada satu di
dunia.
Writer is a Ruler.
Perlakukan tokoh-tokoh dalam cerita kita seperti makhluk ciptaan. Dalam
buku, penulis adalah "tuhan", paling tahu nasib yang akan dijalani oleh tiap
tokoh, bahkan kapan peran mereka harus diakhiri.
Kita mesti belajar tega
memberi konflik dan membunuh karakter tokoh utama, karena cerita yang baik mampu
menempatkan tokoh di titik terendah, agar tercipta kesempatan untuk
mengembangkan potensi terbesar dari karakter utama.
Namun, tetap
berhati-hati dan logis. Semakin rendah sang tokoh kita jatuhkan, kita harus
punya rencana masuk akal ketika berusaha mengangkatnya kembali ke titik harapan.
Tokoh Mewakili Harapan Pembaca
Meskipun kita memegang mutlak nasib para tokoh, tapi jangan sampai
mengecilkan harapan pembaca, ya, Teman. Sebagaimana tuhan, tunjukkan belas kasih
di akhir cerita. Resolusi tokoh tidak mesti happy ending, tetapi bisa disiasati
dengan memberikan akhiran terbuka yang memungkinkan harapan pembaca untuk tumbuh.
Pembaca adalah mahabenar. Ending yang buruk dan tidak memuaskan berisiko
membuat mereka berpaling membenci penulis. Memenuhi harapan pembaca sebetulnya
tidak rugi, kok, bahkan menuntut kita untuk lebih kreatif dari sebelumnya.
Andaikata terpaksa membuat akhiran cerita yang buruk dan tragis, tetap puaskan
pembaca dengan alasan yang logis dan kuat. Sad ending selalu menjadi pilihan
terakhir. Tidak hanya berlaku untuk tokoh protagonis, tetapi juga antagonis.
Ingat, antagonis bukan berarti jahat, tetapi berada di posisi yang
berseberangan dan menghalangi tujuan protagonis. Tidak menutup kemungkinan bahwa
antagonis sebenarnya adalah orang yang baik, begitu pula sebaliknya: protagonis
adalah orang jahat yang punya alasan kuat untuk berbuat demikian.
Namun,
tokoh villain protagonis semacam ini lebih baik dihindari karena penulis akan
menerima konsekuensi dan dituntut usaha yang lebih besar untuk meyakinkan
pembaca agar sudi berpihak pada sang tokoh. Cuma beberapa tokoh yang berhasil
melakukannya. Sementara di luar sana, protagonis yang unggul dalam sisi kebaikan
lebih mudah menarik empati pembaca.
3. Premis Sakti Mandraguna
Bukan cuma Gatotkaca yang sekuat baja, tetapi premis cerita kita juga.
Harapannya, agar tulisan kita tidak keluar jalur, bertele-tele, bahkan
(amit-amit) tidak nyambung.
Formula premis yang kuat harus mengandung dua
hal berikut: KEINGINAN mutlak protagonis, tetapi menemui HAMBATAN yang terasa
mustahil.
Intinya, a mission impossible.
Contoh:
"Kendra tidak
ingin dipecat dari perusahaan pengiriman gara-gara ceroboh, tetapi ia tidak
boleh gagal mengantarkan sebuah paket ke tempat asing dan berbahaya." -Keluar
Jalur
"Dinar ingin mengetahui nama kesatria misterius dari Theta, tetapi seluruh
hidupnya harus menjadi milik sang kesatria." -Beyond Theta
Bagaimana?
Sudah punya gambaran tentang betapa sulit jalan cerita dan gigihnya tokoh yang akan kita
tulis nanti? Lalu, buatlah dalam satu kalimat dan berlatihlah membuat premis
sebanyak mungkin untuk mempertajam cerita.
4. Judul yang Tepat
Judul yang tepat bukan hanya bagus dan menarik, tetapi juga menjual,
sekaligus bisa menginspirasi lahirnya karya-karya baru.
Ada beberapa tips
membuat judul yang bisa kita coba:
1. Judul yang Mencerminkan Premis
Contoh:
Tukar Tambah Nasib (Lia Seplia)
2. Judul mengenai Tokoh Inspiratif
Contoh: Buya
Hamka (A. Fuadi)
3. Judul yang Menjanjikan Konflik
Contoh: Bumi Manusia
(Pramoedya Ananta Toer)
4. Judul Kontroversial
Contoh: Surga yang Tak Dirindukan
(Asma Nadia)
5. Pelesetan dari Judul Populer
Contoh: The Da Peci Code (Ben
Sohib)
6. Judul Mengandung Jargon/Kosakata Khusus
Contoh: Supernova (Dee
Lestari)
Penting! Jika kamu belum ketemu judul yang cocok, tidak usah panik. Kamu tidak
wajib menentukan judul yang tepat di awal, bahkan masih boleh berubah sebelum
naik cetak.
5. Intuisi saat Menyiapkan Sinopsis dan Outline
Jika tema adalah arah, premis adalah jalur, maka sinopsis adalah struktur
cerita yang berjalan, dan outline adalah detail lapisan cerita atau pergantian konflik.
Ada beragam
struktur pengembangan cerita yang kita kenal. Fungsinya sebagai kerangka dasar
yang memuat poin-poin penting dalam menyusun konflik atau ketegangan cerita.
Secara umum, sinopsis memiliki 3 bagian utama:
Pengenalan tokoh, keinginan tokoh, latar, dan konflik awal (premis).
Konflik utama yang berusaha diselesaikan oleh tokoh, hingga ketegangan
semakin meningkat.
Resolusi dan bagian akhir cerita.
Tiga
bagian ini kemudian kita uraikan lagi dalam bentuk narasi ringkas, jelas, dan
padat. Umumnya tidak lebih dari 500 kata atau 2 halaman, ya.
Jika
kita sudah menguasai tema, premis, dan penokohan dengan baik, biasanya kita akan
punya intuisi yang membantu cerita berjalan sendirinya.
Intuisi dalam
menulis adalah kepekaan penulis untuk mengembangkan plot dan konflik berdasarkan
kekuatan riset, pemahaman karakter, pengalaman dari bacaan serupa, serta
penguasaan sebuah tema, sehingga tahapan membuat sinopsis ini seakan terlewati. Namun, bukan demikian cara kerjanya. Kita tetap harus punya sinopsis,
meskipun sebatas rangkaian ide dalam kepala.
Setelah sinopsis jadi, maka
kita tinggal melengkapi plot-plot kecil, yang menggambarkan jalan cerita lebih
rinci. Inilah yang disebut outline atau kerangka tulisan. Setelah dieksekusi
menjadi tulisan, bentuknya berupa bab-bab (chapter).
Sesuaikan jumlah bab
dengan jenis dan panjang tulisan. Panjang bab yang nyaman untuk dibaca adalah
antara 1000 hingga 2000 kata.
Ingat. Karena outline adalah detail dari sinopsis,
maka outline juga harus mengandung 3 bagian konflik: awal, klimaks, dan
resolusi, tetapi dibuat menggantung di akhir bab. Pembagian outline yang
tepat mampu membuat pembaca penasaran untuk mengikuti tiap bab hingga cerita
tamat, loh.
6. Setia pada Tenggat Waktu Menulis
Tetapkan tenggat waktu yang jelas untuk menyelesaikan tulisan: berapa
jumlah kata dalam sehari dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tiap bab.
Tiap penulis punya kecepatan berbeda, tergantung dari
rutinitas di luar kegiatan menulis dan pengalaman menulis sebelumnya. Idealnya,
makin sering menulis, kecepatan menulis juga akan meningkat.
Kita sebaiknya
memperhatikan kecepatan menulis sebelum mulai menulis di platform. Jika
belum terbiasa memenuhi tenggat, sebaiknya tabung naskah dulu sampai lengkap,
barulah kita unggah secara teratur di sana.
Kita juga harus memperhatikan
kecepatan menulis jika ingin mengikuti sebuah lomba. Pilih lomba yang tenggat
waktunya dalam jangkauan. Patokannya adalah harus ada sisa waktu bagi kita untuk
mengendapkan naskah dan melakukan swasunting.
7. Revisi dan Swasunting
Memiliki pengetahuan swasunting wajib hukumnya bagi penulis. Penulis adalah
editor pertama untuk naskahnya sendiri karena penulis yang paling memahami
tulisannya.
Berikut adalah hal-hal yang harus kita perhatikan saat tulisan
selesai dan siap masuk dapur naskah. Harap tidak melompati urutan di bawah:
*
Selesaikan seluruh tulisan lebih dahulu. Jangan revisi sambil menulis karena
akan menghambat kemajuan menulis.
* Ambil jeda beberapa hari atau minggu,
barulah kita siap untuk melakukan swasunting.
* Mulai dengan membaca ulang
seluruh naskah untuk mencari plot hole atau logika yang hilang/cacat.
Tambal bagian tersebut lebih dahulu. Harap bedakan dengan "lompatan" adegan atau
adegan yang dipercepat.
* Setelah plot cerita sudah lengkap, barulah kita mulai
mengubah kalimat-kalimat yang belum efektif dan rancu menjadi kalimat efektif.
* Tahap swasunting terakhir adalah memindai typo atau kesalahan ketik. Kita harus
mengakrabi KBBI, jangan jauh-jauh, apalagi malas membukanya.
Jangan malas swasunting. Tahapan ini akan menentukan kualitas naskah kita. Makin tinggi jam terbang swasunting, kemampuan menulis kita juga akan meningkat.8. Penulis, Jangan Buang Karyamu!
Punya karya lama yang menganggur di laptop atau ditolak penerbit? Jangan
buru-buru dibuang. Arsipkan dalam satu folder. Ada saatnya, karya-karya
gagal/mandek itu akan kita butuhkan lagi, misalnya untuk lomba dengan tema yang
sesuai.
Me & Cincin Saturnus dan Beyond Theta adalah salah satu contoh
karya lama yang belum beruntung di beberapa lomba, yang kemudian malah masuk
nominasi di event berbeda. Nasib yang sama sangat mungkin bakal kalian alami
juga. Gagal di satu tempat, tetapi membuka peluang naskah terbit di tempat lain.
Maka, tetap semangat menulis!
Komentar
Posting Komentar