Langsung ke konten utama

8 Poin Dasar Menulis Fiksi untuk Amatir dan Pro

    Cara menulis fiksi yang baik adalah tahu dasarnya lebih dahulu. Adakah di antara Teman-teman yang punya kebiasaan menulis spontan tanpa persiapan? Jangan berkecil hati, hampir semua penulis pernah melakukan kekeliruan ini, hingga tak jarang menemui kesulitan di tengah proses menulis.        

    "Namanya juga inspirasi, Kak. Kapan lagi  turun dari langit?"     

    Boleh-boleh saja, tapi perlu Teman-teman ketahui bahwa menulis tanpa persiapan ini amat berisiko. Jika tidak kuat iman, semangat pun mengendur, naskah Teman-teman akan berpotensi terlantar. Sayang sekali, bukan?       

    Jadi, persiapan dasar apa saja yang harus kita punya sebelum mulai menulis? 

1. Jauh Dekat Tema dengan Kehidupan (Engagement)      
  
  Tidak jarang, penulis belum menentukan tema tulisan di awal-awal saking semangatnya untuk memulai.    
  
    Coba bayangkan, bagaimana jika sebuah tulisan kita biarkan mengalir tanpa arah tujuan, pusing tidak? Ujung-ujungnya, kita sebagai penulis malah jadi serbagalau. "Setelah ini, aku kira-kira mau menulis tentang apa lagi, ya? Tokohnya terus ngapain? Ending cerita bagusnya dibikin seperti apa, sih?" Nah, tema ini sama fungsinya dengan arah tujuan. Mau kita bawa ke mana?    
 Semakin jelas dan kuat tema yang kita angkat, jiwa tulisan akan semakin mudah dicerna, sekaligus mengguncang pikiran, dan melahirkan kesadaran. 
     Teman-teman boleh cek silang fakta berikut. Rata-rata penerbit terdepan, mensyaratkan tema yang kuat dalam ketentuan naskah terbit mereka. Tema tidak harus baru, mulus, kinclong layaknya mobil keluar dari pabrik, tetapi tema benar-benar mencerminkan kualitas pikiran seorang penulis, napas, dan jiwa yang bisa kita rasakan sebagai pembaca. 
    
    Pada akhirnya, tema ini berkaitan erat dengan pesan moral yang ingin kita sampaikan lewat tulisan. 

"Kak, tema yang kuat itu bagaimana, sih?" 
Jawab: "Tema yang dekat dengan kehidupan pembaca."     

    Contoh, buku "Me & Cincin Saturnus" bercerita tentang seorang gadis yang ingin merebut perhatian cowok pujaannya dengan bergabung dalam komunitas cosplayer. 

    Sekilas, tema PDKT ini terasa umum dan sudah tidak terhitung jumlahnya di luaran. Namun, ada lapisan tema lain dalam kisah ini. Si gadis ternyata menderita konflik self-love dan berupaya bangkit dari masalah body dismorphic disorder yang ia derita. 

    Dalam kehidupan, tema ini amat dekat dengan pengalaman pribadi sebagian dari kita, hingga mengundang reaksi para pembaca. Rata-rata, mereka menyatakan punya pengalaman serupa. Pembaca merasa jiwa mereka hadir dalam kisah ini.      

    Nah, sudah bisa membayangkan? Tema yang kuat mampu menghubungkan antara pikiran penulis dan dunia luar, sehingga kisahnya bisa hadir dan kita rasakan secara nyata. Kita menyebutnya "related" atau membumi.       

    Kesimpulannya, inspirasi boleh datang kapan saja, tetapi kita harus jeli saat memilih tema: mana yang layak untuk dituangkan dalam tulisan. "It's worth it" jika tema tersebut dekat dengan kehidupan penulis dan menggugah perasaan karena pembaca bukan sekadar membaca dengan mata kepala, tetapi juga hati. 

2. Tokoh Cerita yang Bukan Sekadar Tempelan      

    Sebelum masuk ke topik berikut, yuk kenali dulu sudut pandang tokoh:

POV 1: "Aku ...." 

Contoh:       

    Namaku Amanda Ranindhita. Orang-orang cukup memanggilku Manda. Jangan salahkan aku yang tidak punya kehidupan sosial dan terlalu sibuk berkutat di semester akhir kuliah. Bukannya sombong, tetapi aku berkuliah di tempat yang sangat sulit, dengan ritme perkuliahan yang mampu membuatmu gila karena kurang tidur, kurang nonton TV, bahkan sering tidak sempat makan. 

POV 3 tahu segala: "Dia, A, B, C, dan seterusnya ...." 

Contoh:      

    Akan terdengar klise jika Arla menyebut hari-harinya senantiasa berjalan sempurna. Rutin berangkat sekolah pada waktu yang sama, pola aktivitas bak skenario tanpa cela, nyatanya belum cukup juga dalam kacamata hidup Arla. Bagi gadis pemilik bingkai wajah bulat telur itu, pencapaian bukanlah sesuatu yang bisa ia jadikan tolak ukur karena Arla telah punya segalanya. Namun, kenapa rasanya masih saja ada yang kurang? Apakah Arla kurang bersyukur menjadi gadis belia yang diidamkan oleh kebanyakan orang?  

POV 3 terbatas.    

    Hampir sama dengan POV 3 tahu segala, tetapi menggunakan sudut pandang dan informasi yang amat terbatas). Contoh:      

    Hari, minggu, bulan, mungkin juga bilangan tahun, entah berapa lama sudah berlalu. Yang ia ingat dalam memori, nyaris tidak ada. Bahkan, namanya sendiri pun bagai frasa samar yang menguap di dinding kamar. Yang ia tahu, ia masih di sini untuk satu alasan sederhana. Gadis di hadapannya inilah yang membuatnya tidak bisa pergi. 

POV 1 dari sudut pandang orang ketiga: "Kamu ...."      

    Istilah populernya adalah POV 2 semu. Dalam narasi, akan terdengar seperti "suara hati" yang berbicara.  Contoh:            

    Itu adalah denting sepeda yang selalu kau tunggu. Kau bergegas keluar rumah dan membuka pagar. Sekejap saja, tubuhmu telah terlempar di atas lantai, berbaring bak putri duyung, lalu tenggelam dalam laman-laman kreasi yang tertuang di atas kertas. Sayap-sayap imajinasi pun berkelana dalam benakmu yang belia.         

    Setelah mengenal macam-macam sudut pandang, ada tiga aturan dasar yang harus dipertimbangkan, terlepas dari apa pun Point of View yang akan kita gunakan dalam cerita, yaitu: 

Menghidupkan Tokoh Visualisasi      

    Tonjolkan ciri-ciri atau penampilan fisik sesuai kebutuhan isi cerita agar mudah kita bayangkan, terutama buat pembaca.  Contoh:     

    Kelopak mata gadis itu terpejam dan lengket oleh pasta pelembab kornea yang dua kali sehari tak pernah lupa dioleskan oleh perawat. Selang berseliweran keluar masuk rongga tubuh dan kulitnya. Badannya kurus berbalut tulang. Dengan wajah pucat dan kering, butuh berlapis bedak dan perona untuk membuatnya tampak hidup.     

Karakterisasi     

    Pusatkan cerita pada dua tokoh utama penggerak cerita, yakni protagonis dan antagonis. Berikan porsi yang lebih kecil untuk tokoh-tokoh pendukung lainnya.     

    Agar cerita berkesan manusiawi dan alami, tokoh-tokoh di dalamnya harus punya kelebihan sekaligus kekurangan. Tidak ada karakter yang sempurna sepanjang cerita atau sama persis dengan karakter lainnya.      

    Kembangkan kepribadian, tabiat, dan kebiasaan tokoh utama sesuai kebutuhan cerita.         
Keinginan Tokoh     

    Sampaikan kepada pembaca tentang keinginan terpendam dalam diri tokoh, tetapi jangan sampai kebablasan mencampuradukkannya dengan keinginan kita sebagai penulis.       Tetap tempatkan diri kita pada posisi netral, yakni sebagai pengamat dan penutur cerita, sekalipun sudut pandang tokoh yang digunakan adalah POV 1.     

    Hindarilah kesan berlebihan dalam narasi ataupun dialog yang terasa subjektif.
    
    Fiksi bukan diari. Jangan buat pembaca menebak-nebak apakah yang sedang berbicara adalah sang tokoh atau penulis sendiri. PR besar bagi penulis jika setiap cerita terkesan monoton alias kisahnya saja yang berbeda, tapi tokohnya tetap sama. Fiksi juga bukan biografi, apalagi opini, sekalipun berdasarkan pengalaman pribadi. Sama seperti penulis, tokoh adalah unik. Hanya ada satu di dunia. 

Writer is a Ruler.     

    Perlakukan tokoh-tokoh dalam cerita kita seperti makhluk ciptaan. Dalam buku, penulis adalah "tuhan", paling tahu nasib yang akan dijalani oleh tiap tokoh, bahkan kapan peran mereka harus diakhiri.     

    Kita mesti belajar tega memberi konflik dan membunuh karakter tokoh utama, karena cerita yang baik mampu menempatkan tokoh di titik terendah, agar tercipta kesempatan untuk mengembangkan potensi terbesar dari karakter utama.     

    Namun, tetap berhati-hati dan logis. Semakin rendah sang tokoh kita jatuhkan, kita harus punya rencana masuk akal ketika berusaha mengangkatnya kembali ke titik harapan. 

Tokoh Mewakili Harapan Pembaca      

    Meskipun kita memegang mutlak nasib para tokoh, tapi jangan sampai mengecilkan harapan pembaca, ya, Teman. Sebagaimana tuhan, tunjukkan belas kasih di akhir cerita. Resolusi tokoh tidak mesti happy ending, tetapi bisa disiasati dengan memberikan akhiran terbuka yang memungkinkan harapan pembaca untuk tumbuh.      

    Pembaca adalah mahabenar. Ending yang buruk dan tidak memuaskan berisiko membuat mereka berpaling membenci penulis. Memenuhi harapan pembaca sebetulnya tidak rugi, kok, bahkan menuntut kita untuk lebih kreatif dari sebelumnya.      

    Andaikata terpaksa membuat akhiran cerita yang buruk dan tragis, tetap puaskan pembaca dengan alasan yang logis dan kuat. Sad ending selalu menjadi pilihan terakhir. Tidak hanya berlaku untuk tokoh protagonis, tetapi juga antagonis.      

    Ingat, antagonis bukan berarti jahat, tetapi berada di posisi yang berseberangan dan menghalangi tujuan protagonis. Tidak menutup kemungkinan bahwa antagonis sebenarnya adalah orang yang baik, begitu pula sebaliknya: protagonis adalah orang jahat yang punya alasan kuat untuk berbuat demikian.     

    Namun, tokoh villain protagonis semacam ini lebih baik dihindari karena penulis akan menerima konsekuensi dan dituntut usaha yang lebih besar untuk meyakinkan pembaca agar sudi berpihak pada sang tokoh. Cuma beberapa tokoh yang berhasil melakukannya. Sementara di luar sana, protagonis yang unggul dalam sisi kebaikan lebih mudah menarik empati pembaca.  

3. Premis Sakti Mandraguna      

    Bukan cuma Gatotkaca yang sekuat baja, tetapi premis cerita kita juga. Harapannya, agar tulisan kita tidak keluar jalur, bertele-tele, bahkan (amit-amit) tidak nyambung.       

    Formula premis yang kuat harus mengandung dua hal berikut: KEINGINAN mutlak protagonis, tetapi menemui HAMBATAN yang terasa mustahil.       

Intinya, a mission impossible

Contoh: 

"Kendra tidak ingin dipecat dari perusahaan pengiriman gara-gara ceroboh, tetapi ia tidak boleh gagal mengantarkan sebuah paket ke tempat asing dan berbahaya." -Keluar Jalur

"Dinar ingin mengetahui nama kesatria misterius dari Theta, tetapi seluruh hidupnya harus menjadi milik sang kesatria." -Beyond Theta            

    Bagaimana? Sudah punya gambaran tentang betapa sulit jalan cerita dan gigihnya tokoh yang akan kita tulis nanti? Lalu, buatlah dalam satu kalimat dan berlatihlah membuat premis sebanyak mungkin untuk mempertajam cerita.   

4. Judul yang Tepat      

    Judul yang tepat bukan hanya bagus dan menarik, tetapi juga menjual, sekaligus bisa menginspirasi lahirnya karya-karya baru. 

    Ada beberapa tips membuat judul yang bisa kita coba: 

1. Judul yang Mencerminkan Premis 
Contoh: Tukar Tambah Nasib (Lia Seplia) 

2. Judul mengenai Tokoh Inspiratif 
Contoh: Buya Hamka (A. Fuadi) 

3. Judul yang Menjanjikan Konflik 
Contoh: Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) 

4. Judul Kontroversial 
Contoh: Surga yang Tak Dirindukan (Asma Nadia) 

5. Pelesetan dari Judul Populer 
Contoh: The Da Peci Code (Ben Sohib) 

6. Judul Mengandung Jargon/Kosakata Khusus 
Contoh: Supernova (Dee Lestari) 

Penting! Jika kamu belum ketemu judul yang cocok, tidak usah panik. Kamu tidak wajib menentukan judul yang tepat di awal, bahkan masih boleh berubah sebelum naik cetak. 

5. Intuisi saat Menyiapkan Sinopsis dan Outline      

    Jika tema adalah arah, premis adalah jalur, maka sinopsis adalah struktur cerita yang berjalan, dan outline adalah detail lapisan cerita atau pergantian konflik.     

    Ada beragam struktur pengembangan cerita yang kita kenal. Fungsinya sebagai kerangka dasar yang memuat poin-poin penting dalam menyusun konflik atau ketegangan cerita.      

    Secara umum, sinopsis memiliki 3 bagian utama: 

Pengenalan tokoh, keinginan tokoh, latar, dan konflik awal (premis). 

Konflik utama yang berusaha diselesaikan oleh tokoh, hingga ketegangan semakin meningkat. 

Resolusi dan bagian akhir cerita.             

    Tiga bagian ini kemudian kita uraikan lagi dalam bentuk narasi ringkas, jelas, dan padat. Umumnya tidak lebih dari 500 kata atau 2 halaman, ya.            

    Jika kita sudah menguasai tema, premis, dan penokohan dengan baik, biasanya kita akan punya intuisi yang membantu cerita berjalan sendirinya.     

    Intuisi dalam menulis adalah kepekaan penulis untuk mengembangkan plot dan konflik berdasarkan kekuatan riset, pemahaman karakter, pengalaman dari bacaan serupa, serta penguasaan sebuah tema, sehingga tahapan membuat sinopsis ini seakan terlewati. Namun, bukan demikian cara kerjanya. Kita tetap harus punya sinopsis, meskipun sebatas rangkaian ide dalam kepala.      

    Setelah sinopsis jadi, maka kita tinggal melengkapi plot-plot kecil, yang menggambarkan jalan cerita lebih rinci. Inilah yang disebut outline atau kerangka tulisan. Setelah dieksekusi menjadi tulisan, bentuknya berupa bab-bab (chapter).     

    Sesuaikan jumlah bab dengan jenis dan panjang tulisan. Panjang bab yang nyaman untuk dibaca adalah antara 1000 hingga 2000 kata.     

    Ingat. Karena outline adalah detail dari sinopsis, maka outline juga harus mengandung 3 bagian konflik: awal, klimaks, dan resolusi, tetapi dibuat menggantung di akhir bab. Pembagian outline yang tepat mampu membuat pembaca penasaran untuk mengikuti tiap bab hingga cerita  tamat, loh. 

6. Setia pada Tenggat Waktu Menulis      

    Tetapkan tenggat waktu yang jelas untuk menyelesaikan tulisan: berapa jumlah kata dalam sehari dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap bab. 

    Tiap penulis punya kecepatan berbeda, tergantung dari rutinitas di luar kegiatan menulis dan pengalaman menulis sebelumnya. Idealnya, makin sering menulis, kecepatan menulis juga akan meningkat.     

    Kita sebaiknya memperhatikan kecepatan menulis sebelum mulai menulis di platform. Jika belum terbiasa memenuhi tenggat, sebaiknya tabung naskah dulu sampai lengkap, barulah kita unggah secara teratur di sana.    

    Kita juga harus memperhatikan kecepatan menulis jika ingin mengikuti sebuah lomba. Pilih lomba yang tenggat waktunya dalam jangkauan. Patokannya adalah harus ada sisa waktu bagi kita untuk mengendapkan naskah dan melakukan swasunting.  

7. Revisi dan Swasunting      

    Memiliki pengetahuan swasunting wajib hukumnya bagi penulis. Penulis adalah editor pertama untuk naskahnya sendiri karena penulis yang paling memahami tulisannya.   

    Berikut adalah hal-hal yang harus kita perhatikan saat tulisan selesai  dan siap masuk dapur naskah. Harap tidak melompati urutan di bawah: 

* Selesaikan seluruh tulisan lebih dahulu. Jangan revisi sambil menulis karena akan menghambat kemajuan menulis. 

* Ambil jeda beberapa hari atau minggu, barulah kita siap untuk melakukan swasunting.    

* Mulai dengan membaca ulang seluruh naskah untuk mencari plot hole atau logika yang hilang/cacat. Tambal bagian tersebut lebih dahulu. Harap bedakan dengan "lompatan" adegan atau adegan yang dipercepat. 

* Setelah plot cerita sudah lengkap, barulah kita mulai mengubah kalimat-kalimat yang belum efektif dan rancu menjadi kalimat efektif. 

* Tahap swasunting terakhir adalah memindai typo atau kesalahan ketik.  Kita harus mengakrabi KBBI, jangan jauh-jauh, apalagi malas membukanya.        
Jangan malas swasunting. Tahapan ini akan menentukan kualitas naskah kita. Makin tinggi jam terbang swasunting, kemampuan menulis kita juga akan meningkat. 
8. Penulis, Jangan Buang Karyamu!      

    Punya karya lama yang menganggur di laptop atau ditolak penerbit? Jangan buru-buru dibuang. Arsipkan dalam satu folder. Ada saatnya, karya-karya gagal/mandek itu akan kita butuhkan lagi, misalnya untuk lomba dengan tema yang sesuai.       

    Me & Cincin Saturnus dan Beyond Theta adalah salah satu contoh karya lama yang belum beruntung di beberapa lomba, yang kemudian malah masuk nominasi di event berbeda. Nasib yang sama sangat mungkin bakal kalian alami juga. Gagal di satu tempat, tetapi membuka peluang naskah terbit di tempat lain.     

    Maka, tetap semangat menulis!

Komentar